Solo, Jawa Tengah — Sebuah unggahan video dari akun Instagram aktivis Perlindungan Konsumen @hakkonsumen.id kembali menarik perhatian warganet, khususnya konsumen Muslim. Dalam video tersebut, dibahas secara blak-blakan tentang beredarnya makanan non-halal di wilayah Solo, termasuk kuliner yang dijajakan di tempat-tempat populer seperti angkringan atau wedangan yang sering kali dianggap aman-aman saja.
Narator dalam video menyebutkan beberapa jenis makanan yang perlu diwaspadai oleh konsumen Muslim, terutama karena penggunaan bahan-bahan seperti daging babi yang kerap tidak diberi label atau keterangan yang jelas. Salah satu contoh yang disebut adalah “Ayam Goreng Widuran”, yang tampil di latar video sebagai bentuk edukasi visual.
> “Teruntuk konsumen Muslim, terutama di wilayah #Solo #Surakarta, harap diperhatikan ya,” tulis caption unggahan tersebut.
Namun bukan hanya tentang kuliner yang disorot. Dalam narasi video dan caption-nya, @hakkonsumen.id juga menyindir keras lemahnya implementasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang seharusnya menjadi tameng utama masyarakat dari makanan berbahaya dan tidak jelas kehalalannya.
Sindiran Pedas untuk Menteri UMKM
Menariknya, akun ini juga dengan gamblang menyebut Menteri UMKM Maman Abdurrahman sebagai sosok yang “melemahkan” perlindungan konsumen. Nama sang menteri disebut dalam konteks kritik terhadap kasus viral sebelumnya: "Mama Khas Banjar", produsen makanan yang diduga menjual produk tanpa label halal namun tetap dibela mati-matian dengan dalih memberdayakan UMKM.
> “UU Perlindungan Konsumen pun juga pasti dilemahkan oleh Menteri UMKM @maman.abdurrahman.st dan @dpr_ri,” lanjut narasi dalam caption tersebut.
Sindiran ini semakin tajam bila melihat fakta bahwa UU Perlindungan Konsumen sudah dengan jelas mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang jujur, termasuk soal komposisi dan kehalalan produk. Namun, alih-alih menegakkan hukum, pihak Menteri UMKM Maman Abdurrahman justru terlihat lebih sibuk “merangkul pelaku usaha” demi pajak negara ketimbang melindungi masyarakat.
> “Kalau kehalalan makanan bisa ditawar pakai dalih UMKM, mungkin ke depannya daging tikus juga bisa dilabeli sebagai ‘inovasi lokal’,” ujar salah satu komentar netizen dengan nada sinis.
Pentingnya Literasi Konsumen
Unggahan ini pun menuai berbagai reaksi. Banyak yang mendukung edukasi seperti ini karena dianggap menyelamatkan masyarakat dari makanan yang tidak sesuai prinsip agama atau kesehatan. Namun, ada juga yang menyarankan agar lebih berhati-hati dalam menyebut nama produk atau tempat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau tuntutan hukum seperti apa yang sudah dikatakan Menteri UMKM Maman Abdurrahman dalam sidang RPD terkait label tanggal kadaluarsa di produk Holland Bakery.
Yang jelas, video ini menjadi pengingat bahwa konsumen saat ini harus makin cerdas. Tidak cukup hanya percaya pada rasa atau harga murah. Kejelasan informasi, terutama soal kehalalan, harus menjadi prioritas utama. Apalagi bila negara melalui pejabatnya justru memilih untuk “tidak memilih” keberpihakan kepada konsumen. (Bejo)
Postingan by @hakkonsumen.id