Isu keamanan pangan kembali menjadi perhatian publik setelah mencuatnya dua kasus yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yakni oleh-oleh kemasan Mama Khas Banjar di Kalimantan Selatan dan rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo.
Kedua kasus tersebut mengundang reaksi masyarakat karena produk yang dijual tidak mencantumkan label halal dan tanggal kedaluwarsa secara jelas. Padahal, kedua elemen tersebut merupakan bagian penting dalam perlindungan konsumen, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Label halal tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan, tetapi juga menjadi bentuk jaminan proses produksi yang sesuai dengan standar kesehatan dan kebersihan. Sementara itu, tanggal kedaluwarsa sangat penting untuk memastikan produk yang dikonsumsi masih aman dan layak.
Polemik ini semakin ramai ketika Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, memberikan pembelaan terhadap pelaku usaha yang terkena razia di Banjar. Ia menyatakan bahwa pelaku UMKM jangan dipersulit dengan regulasi yang terlalu ketat. Pernyataan ini memunculkan perdebatan antara perlunya kemudahan berusaha bagi UMKM dan pentingnya standar keamanan bagi konsumen.
Namun, para ahli menyatakan bahwa edukasi dan pendampingan seharusnya menjadi jalan tengah. UMKM perlu dibina agar mampu memenuhi standar minimum tanpa merasa terbebani secara administratif. Di sisi lain, negara tetap memiliki tanggung jawab memastikan seluruh produk makanan—terutama yang dikemas dan dijual ke publik—memiliki informasi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kasus Mama Khas Banjar dan Ayam Goreng Widuran menjadi pengingat penting bahwa pertumbuhan UMKM tidak boleh mengorbankan hak konsumen. Perlindungan konsumen dan pemberdayaan pelaku usaha seharusnya berjalan beriringan, bukan saling meniadakan. Label halal dan kedaluwarsa bukanlah hambatan, melainkan bentuk tanggung jawab bersama demi keamanan dan kepercayaan publik.(Bejo)
