Jatim - Kasus viral “Mama Khas Banjar” yang sempat mengguncang lini masa bukan hanya soal UMKM lokal yang terganjal aturan. Ia kini menjadi simbol baru dari bagaimana hukum bisa dilonggarkan ketika para elit bermufakat dengan dalih menyelamatkan ekonomi dan memperjuangkan pajak negara.
Ketika penegakan hukum mulai terseret dalam narasi populis — bahwa penindakan terhadap pelaku usaha kecil hanya akan “mematikan semangat ekonomi” — maka yang tengah melemah bukan hanya kepercayaan publik terhadap keadilan, tapi juga prinsip dasar bahwa hukum berlaku untuk semua.
Pemerintah memang akhirnya mencabut tuntutan dan membebaskan pelaku, namun narasi yang berkembang justru membuka ruang kompromi hukum atas nama penyelamatan ekonomi. Apakah hukum kini tunduk pada suara viral dan tekanan politik?
Pakar industri dan mantan Kabid SDPI Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Timur, Adolf William Talakua, memberikan pandangan yang lebih berimbang:
> “Hukum dan pendampingan dalam pengetahuan standarisasi produk UMKM itu harus tetap berjalan. Artinya, pelaku tetap harus menjalani hukumannya di sel — dan di dalam sel itu pula bisa diberikan arahan. Sehingga, setelah bebas, ia akan bisa melaksanakan semua ilmu yang diperoleh.”
Menurut Adolf, sanksi tak harus berat. Ia mengusulkan masa hukuman simbolik selama 1 hingga 3 bulan sebagai bentuk efek jera sekaligus peringatan kepada UMKM lain bahwa pelanggaran terhadap aturan tetap memiliki konsekuensi.
“Kalau kita mau maju dari segi bisnis, kita sendiri harus disiplin. Dan disiplin itu artinya menaati hukum yang berlaku,” tegasnya.
Pandangan ini menolak pendekatan pembebasan total tanpa edukasi hukum. Ia menggarisbawahi bahwa membiarkan pelanggaran terjadi tanpa sanksi hanya akan menciptakan preseden buruk: UMKM akan terbiasa mengabaikan aturan, dan ketika kasus mereka viral, mereka cukup ‘menangis di media sosial’.
Apa gunanya hukum jika ia bisa dikalahkan oleh simpati dan popularitas? Dalam masyarakat hukum, bahkan rasa kasihan pun harus berada di bawah kendali konstitusi. Karena jika hukum bisa dikompromikan, maka keadilan bukan lagi soal benar atau salah, melainkan siapa yang paling didengar. (Bejo)