JAKARTA – Di tengah hiruk pikuk kasus Mama Khas Banjar yang membuka tabir bobolnya implementasi UU Perlindungan Konsumen, satu lembaga justru terlihat paling tenang: Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Tenang, bahkan terlalu tenang.
Ketika jaksa mulai berubah arah. Ketika DPR dan Menteri UMKM mulai “menguliahkan” hukum soal empati. Ketika konsumen mulai bertanya, “Siapa yang lindungi kami?”
BPKN justru memilih menjadi penonton.
Tidak ada pernyataan keras. Tidak ada siaran pers. Tidak ada keprihatinan. Tidak juga pembelaan terhadap pasal-pasal yang selama ini mereka bawa ke seminar-seminar.
Ada apa dengan BPKN?
Apakah suara mereka hanya terdengar saat Hari Konsumen Nasional? Atau memang mereka sedang menunggu aba-aba dari politikus sebelum berpendapat?
Padahal kasus ini adalah inti dari mandat mereka: pelanggaran hak konsumen atas produk yang tidak memenuhi standar. Tapi tampaknya, selama pelakunya UMKM dan dibela penguasa, maka hak konsumen bisa ditawar—dan BPKN bisa memilih diam, demi kenyamanan.
Sungguh, jika diam adalah kebijakan, maka BPKN patut diberi penghargaan atas konsistensinya. Konsumen kecewa? Tidak masalah. Yang penting tenang, tidak menyinggung siapa-siapa, dan tetap relevan di presentasi PowerPoint kementerian.
Publik tentu berharap perlindungan tidak berhenti di slogan. Tapi nyatanya, dalam kasus ini, lembaga yang seharusnya jadi benteng konsumen justru absen dari medan.
Dan akhirnya, perlindungan konsumen tinggal nama,
sementara pelanggaran dilegalkan lewat "narasi rakyat kecil".
Terima kasih BPKN, karena sudah membuktikan bahwa kadang, diam itu bukan emas—tapi bentuk pengabaian.