Minggu, 25 Mei 2025

Premanisme Berbaju Ormas: Alat Politik di Balik Kepentingan Kuasa


mediaindonesia.net – Di berbagai wilayah Indonesia, fenomena preman yang bernaung di bawah organisasi kemasyarakatan (ormas) semakin menguat, bukan hanya sebagai penjaga keamanan non-formal, tetapi juga sebagai alat politik yang efektif. Mereka tak jarang digunakan oleh aktor politik untuk menggalang dukungan suara, menekan lawan, hingga mengamankan proyek-proyek yang sarat konflik kepentingan.

Salah satu kasus yang menyorot perhatian publik terjadi menjelang pemilu lokal di Jakarta beberapa tahun lalu. Sejumlah ormas yang dikenal keras mendadak muncul dalam kampanye politik salah satu calon kepala daerah. Mereka dikerahkan untuk “mengamankan” jalannya kampanye, membentuk opini publik, hingga memobilisasi massa. Meskipun keberadaan mereka diklaim sebagai bagian dari “dukungan rakyat,” banyak warga dan aktivis menyebut bahwa itu adalah bentuk intimidasi terselubung.

Tak hanya di Jakarta, pola serupa terjadi di daerah seperti Bekasi, Medan, dan Makassar. Para preman ini sering dilabeli "relawan," namun dalam praktiknya, mereka menjadi kekuatan jalanan yang melayani kepentingan politik dan pribadi dari tokoh tertentu. Mereka diberikan insentif berupa proyek, bantuan sosial, atau akses terhadap sumber daya daerah.

Menurut Imparsial, lembaga pengawas hak asasi manusia, ini adalah bentuk milisi sipil yang dibiarkan tumbuh oleh negara. “Ketika ormas dijadikan alat politik dan tidak ada penindakan hukum terhadap aksi-aksi kekerasan mereka, maka negara justru sedang memelihara premanisme,” ujar Direktur Eksekutif Imparsial dalam sebuah wawancara.

Fenomena ini sejatinya bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara berkembang, penggunaan kelompok informal bersenjata atau berotot dalam arena politik sudah menjadi pola klasik. Mantan Presiden AS, Barack Obama, pernah memperingatkan dalam pidatonya di Afrika Selatan pada 2018:

“Ketika politik mulai bergantung pada intimidasi, dan bukan ide, maka kekuatan rakyat telah dibajak oleh ketakutan.” — Barack Obama

Sosiolog asal Perancis, Pierre Bourdieu, juga pernah menyinggung hal serupa dalam konteks dominasi simbolik dan kekerasan struktural:
“Kekuasaan yang tak dibatasi hukum akan selalu mencari otot, dan otot itu bisa berasal dari jalanan yang diorganisir.” — Pierre Bourdieu

Kini, publik mulai menyadari bahwa romantisme ormas sebagai representasi masyarakat adat atau pembela rakyat seringkali hanyalah topeng dari kepentingan ekonomi dan politik segelintir orang. Negara ditantang untuk hadir secara tegas, bukan hanya sebagai penonton, tapi sebagai pelindung warga dari teror premanisme yang berkedok ormas.(Bejo)

Reporter: Redaksi mediaindonesia.net | 25 Mei 2025